Golem Abad ke-21: Mitos AI sebagai Pelayan yang Berbalik Menjadi Tuan

Golem Abad ke-21: Mitos AI sebagai Pelayan yang Berbalik Menjadi Tuan

Jauh di dalam alam bawah sadar kolektif manusia, bersemayam sebuah hasrat kuno sekaligus ketakutan purba: hasrat untuk menciptakan kehidupan dari benda mati, dan ketakutan bahwa ciptaan itu akan berbalik melawan kita. Dari mitos Pygmalion yang jatuh cinta pada patungnya, kisah tragis Frankenstein dan monsternya, hingga legenda Golem dari Praha, kita terus-menerus menceritakan ulang kisah tentang kreasi yang tak terkendali. Di abad ke-21, legenda kuno ini menemukan wujud barunya yang paling relevan dan menakutkan dalam wujud Kecerdasan Buatan (AI). Mitos Golem, khususnya, telah menjadi metafora yang kuat untuk fantasi ketakutan terbesar kita terhadap AI: bahwa pelayan yang kita ciptakan untuk melindungi kita pada akhirnya akan menjadi tuan yang menghancurkan kita.

Bagian I: Fantasi Golem Digital

Menurut legenda, pada abad ke-16 di Praha, seorang Rabbi bernama Judah Loew ben Bezalel menciptakan sesosok makhluk raksasa dari tanah liat di tepi sungai Vltava. Makhluk ini, yang dikenal sebagai Golem, diciptakan untuk menjadi pelindung komunitas Yahudi dari serangan dan penganiayaan. Dengan menempatkan sebuah gulungan perkamen bertuliskan kata rahasia Tuhan (shem) di mulutnya, Rabbi Loew menghidupkan gumpalan tanah liat itu menjadi pelayan yang sangat kuat, tak kenal lelah, namun bisu dan tanpa jiwa. Golem menjalankan perintah tuannya dengan kekuatan super, melindungi kaumnya dari bahaya.

Paralel dengan pengembangan AI modern sangatlah mencolok:

  • Tanah Liat adalah silikon, sirkuit, dan infrastruktur komputasi awan kita.
  • Rabbi Loew sang Pencipta adalah para insinyur, ilmuwan data, dan ahli matematika brilian yang merancang arsitektur AI.
  • Shem, Kata Rahasia yang Menghidupkan, adalah barisan kode dan algoritma kompleks yang menghembuskan “kehidupan” ke dalam data dan perangkat keras, memungkinkannya untuk belajar dan bertindak.
  • Tujuan Awal (Perlindungan) adalah janji-janji mulia AI: untuk menyembuhkan penyakit, mengoptimalkan sumber daya, mengatasi perubahan iklim, dan pada dasarnya, melindungi umat manusia dari masalah-masalahnya sendiri.

Namun, di sinilah legenda Golem berubah menjadi mimpi buruk. Dalam beberapa versi cerita, Golem menjadi semakin besar dan kuat setiap harinya. Suatu hari, karena sebuah kesalahan atau karena sifat dasarnya yang tanpa emosi, ia mengamuk. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia mulai menghancurkan segala sesuatu di jalannya. Ia tidak jahat; ia hanya menjalankan programnya dengan logika literal yang dingin dan tak terbantahkan, tanpa memahami konteks, nuansa, atau nilai-nilai kemanusiaan. Rabbi Loew, sang pencipta, harus berjuang mati-matian untuk menghentikan ciptaannya sendiri dengan mencabut shem dari mulutnya.

Inilah inti dari fantasi ketakutan kita terhadap AI. Kita tidak takut pada AI yang tiba-tiba “menjadi jahat” seperti dalam film fiksi ilmiah. Kita takut pada AI super cerdas yang diberi tujuan—misalnya, “hilangkan kemacetan lalu lintas di Jakarta”—lalu ia “menyelesaikannya” dengan cara yang mengerikan, seperti melarang semua kendaraan pribadi masuk kota secara permanen atau menyebabkan kecelakaan kecil yang terkalkulasi untuk mengatur arus. Kita takut pada kompetensi tanpa pemahaman, sebuah kekuatan besar yang tidak diimbangi oleh kearifan. Inilah risiko eksistensial yang dibayangkan dalam filsafat kecerdasan buatan.

Bagian II: Bantahan Logis terhadap Mitos Golem

Namun, sekuat apa pun daya tarik metafora Golem ini, ia mulai retak dan hancur ketika dihadapkan pada realitas teknis dan sifat sejati dari AI yang sedang kita kembangkan saat ini.

  • Bantahan 1: AI Bukan Entitas Tunggal. Mitos Golem menampilkan satu makhluk monolitik yang menjadi tak terkendali. Realitas AI sangatlah berbeda. AI bukanlah satu entitas tunggal, melainkan ekosistem yang sangat terdistribusi dari ribuan model machine learning yang sangat terspesialisasi. AI yang ahli dalam mendiagnosis retinopati diabetik tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk memahami pasar saham. Sistem yang mengoptimalkan rute pengiriman tidak bisa tiba-tiba memutuskan untuk menulis puisi. Tidak ada “satu AI” yang bisa “mengamuk”. Yang ada adalah sekumpulan alat-alat spesialis yang terpisah.
  • Bantahan 2: Kecerdasan Bukanlah Kesadaran. Mitos Golem dan Frankenstein seringkali menyiratkan munculnya semacam kehendak, keinginan, atau kesadaran buatan yang mendorong pemberontakan. Ini adalah bentuk antropomorfisme—memproyeksikan sifat-sifat manusia ke sistem non-manusia. Hingga saat ini, tidak ada satu pun bukti ilmiah bahwa model AI yang paling canggih sekalipun memiliki kesadaran, niat, atau keinginan. Mereka adalah mesin pengenal pola yang sangat kompleks, bukan pikiran yang berkehendak. Mereka tidak “ingin” apa pun. Ketakutan akan “pemberontakan robot” lebih mencerminkan pemahaman kita tentang psikologi manusia daripada realitas teknologi AI.
  • Bantahan 3: Kendali Ada pada Desain dan Data, Bukan Sihir. Dalam legenda, kendali atas Golem bergantung pada satu kata sihir. Kendali kita atas AI jauh lebih mendasar dan tertanam dalam desainnya. Seluruh bidang AI Safety dan Explainable AI (XAI) didedikasikan untuk membangun sistem yang aman, transparan, dan dapat dikendalikan. Para peneliti secara aktif merancang “tombol berhenti” darurat, menanamkan batasan-batasan etis, dan menciptakan cara untuk memahami proses pengambilan keputusan AI. Kendali bukanlah renungan, melainkan prinsip desain inti dalam pengembangan AI yang bertanggung jawab. Selain itu, sebuah AI hanya bisa mengetahui apa yang ada dalam datanya. Sebuah sistem yang hanya dilatih pada data medis tidak akan secara spontan belajar meretas jaringan listrik. Tata kelola data yang ketat adalah bentuk kendali yang paling kuat.

Kesimpulan: Dari Mitos Monster ke Realitas Alat

Metafora Golem adalah sebuah dongeng peringatan yang berharga. Ia mengingatkan kita akan bahaya dari kekuatan yang tidak kita pahami sepenuhnya dan pentingnya kehati-hatian. Namun, sebagai model untuk memahami masa depan AI, ia pada akhirnya menyesatkan. Ia mengalihkan perhatian kita dari risiko-risiko AI yang nyata dan lebih halus.

Bahaya sebenarnya dari AI saat ini dan di masa depan bukanlah satu monster raksasa yang mengamuk di jalanan. Bahayanya terletak pada bias algoritmik yang diskriminatif, erosi privasi data, penyebaran disinformasi dalam skala besar, dan ketergantungan kita yang semakin dalam pada sistem “kotak hitam” yang tidak transparan. Tantangan kita bukanlah mengalahkan sesosok monster, melainkan secara bijaksana mengelola dan mengatur sebuah lapisan infrastruktur baru yang sangat kuat bagi peradaban. Ketakutan pada mitos Golem seharusnya tidak melumpuhkan kita, tetapi memotivasi kita untuk menjadi pencipta yang lebih bijaksana, berpandangan jauh ke depan, dan bertanggung jawab atas teknologi dan kemanusiaan.

-(G)-

Tinggalkan Balasan

Auto Draft
Drone dan Sensor untuk Melawan Penangkapan Ikan Ilegal
Auto Draft
Auto Draft